• Jelajahi

    Copyright © KEADILAN RAKYAT
    Best Viral Premium Blogger Templates

    1 JULI

    Website

    Monyet Ekor Panjang & Beruk: Primata Terancam dalam Cengkeraman Pedagang

    JON KEY
    Senin, 15 September 2025, 15.9.25 WIB Last Updated 2025-09-16T01:55:40Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini
    Medan - Monyet Ekor Panjang & Beruk: Primata Terancam dalam Cengkeraman Pedagang
    Emmanuel Ariananto Waluyo Adi
    Populasi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan beruk (Macaca nemestrina) di Indonesia kini menghadapi tekanan berat akibat perdagangan satwa. Kedua primata ini sudah tercantum sebagai terancam punah dalam IUCN Red List sejak Maret 2022. Namun ironisnya, Indonesia belum memasukkan keduanya dalam daftar satwa liar dilindungi. Akibatnya, para pedagang terus memanfaatkan celah hukum untuk menangkap, memelihara, atau menjual primata ini secara bebas 
    Monyet ekor panjang dan beruk bukan sekadar “masalah” bagi manusia; mereka adalah pilar fungsional dalam ekosistem yang memberi manfaat nyata ekologis, ekonomi, dan kultural yang sering terabaikan dalam debat konservasi. Secara ekologis, keduanya berperan penting dalam penyebaran biji dan regenerasi hutan: saat mereka memakan buah, biji dibawa dan dikeluarkan di lokasi berbeda, membantu keragaman tumbuhan dan mempercepat pemulihan lahan terdegradasi. Fungsi ini berkontribusi langsung pada ketahanan ekosistem dan kapasitas hutan menyimpan karbon, yang relevan bagi strategi mitigasi perubahan iklim. Dalam konteks pertanian, primata ini juga berperan sebagai pengendali hama alami dengan memakan serangga atau buah-buahan tertentu, mereka menyeimbangkan populasi organisme yang bisa merusak tanaman. Pendekatan terpadu yang mengakui peran ini (misalnya zonasi pertanian-penyangga) dapat mengurangi konflik manusia-satwa sambil meningkatkan hasil panen melalui jasa ekosistem tidak langsung. Secara ekonomi dan sosial, MEP dan beruk membuka peluang ekowisata berbasis komunitas: desa-desa yang menjaga koridor habitat dapat mengembangkan paket wisata edukasi dan konservasi yang memberi penghasilan berkelanjutan bagi warga, dibandingkan keuntungan singkat dari penjualan satwa. Selain itu, primata ini menjadi subjek penelitian ilmiah yang bernilai dari ekologi sampai kesehatan masyarakat (One Health) yang jika dikelola etis dapat memperkuat kapasitas riset nasional dan menghasilkan kolaborasi internasional tanpa eksploitasi.

    Ilustrasi monyet ekor panjang (MEP) di kandang sempit. Data YIARI mencatat antara 2020–2022 ada 1.650 MEP dan 77 beruk yang diiklankan lewat 26 e-commerce di 11 provinsi Indonesia. Pedagang juga aktif di pasar satwa. Misalnya, Pasar Burung Jatinegara (Jakarta) tercatat memiliki ~200 kios/lapak yang menjual berbagai satwa liaran, termasuk primata bukan dilindungi. Umumnya yang diperdagangkan adalah bayi primata (85–89% kasus) karena dianggap mudah dipelihara. Meski status IUCN sudah kritis, perdagangan legal maupun ilegal masih marak: MEP dijual untuk hewan peliharaan, atraksi hiburan (seperti “topeng monyet” keliling), bahkan diekspor untuk riset internasional. Data resmi menunjukkan Amerika Serikat mengimpor 1.402 monyet ekor panjang hasil tangkapan liar dari Indonesia tahun 2023. Aktivis menyebut penangkapan ini brutal – induk dibunuh untuk merebut bayi – dan menuntut pemerintah menghentikan ekspor serta memberikan perlindungan populasi asli.
     
    Seorang pelaku doger monyet membawa monyet ekor panjang yang dirantai, bagian dari atraksi hiburan tradisional. Praktik “topeng monyet” seperti ini mengesampingkan kesejahteraan satwa. Meskipun sudah dilarang di beberapa kota (Jakarta, Bandung, Bali) karena menyiksa hewan, atraksi ini masih berjalan di banyak tempat. Paradigma “monyet hanya hama” membuat masyarakat dan pemerintah menganggap penangkapan primata sebagai solusi konflik pertanian. Padahal, menyuruh monyet pergi atau menangkapnya tanpa data populasi valid justru bertentangan dengan mitigasi yang berkelanjutan. Seperti di Gunungkidul (DIY), penangkapan MEP dilakukan brutal tanpa kajian saintifik, sehingga LSM mendesak pemerintah memilih alternatif lain (misalnya, penataan habitat) daripada memburu.
    Secara hukum, situasinya rumit. UU No.5/1990 (KSDAE) melarang menangkap, menjual, atau memelihara satwa dilindungi. Namun karena MEP dan beruk belum masuk daftar satwa dilindungi (permennya), perdagangan mereka tidak bisa diproses dengan UU tersebut. Contohnya, BKSDA Bali menyatakan pelaku perdagangan MEP hanya bisa dijerat Pasal KUHP tentang penyiksaan hewan (jika terbukti) karena satwa ini tidak dilindungi undang-undang. Fakta ini diperkuat laporan bahwa selama dua dekade MEP tidak dicantumkan di peraturan perlindungan, meski kini IUCN menyebutnya rentan. Dengan demikian, hampir semua kasus MEP/beruk berakhir tanpa hukuman serius; aparat hanya melakukan penyitaan administrasi atau sekadar teguran (banyak yang menyarankan pengaturan melalui Perda tingkat lokal).
     
    Praktik perdagangan primata sering melibatkan penyiksaan. Foto ini memperlihatkan seekor MEP kecil terkurung di kandang sempit, kasus umum yang dilaporkan aktifis. Selain diperdagangkan hidup-hidup, kaum pemburu juga membawa babi hutan dan primata untuk konsumsi atau upacara adat di beberapa daerah. Misalnya, monyet liar di Mentawai hingga Papua pernah dilaporkan diburu oleh masyarakat lokal sebagai santapan tradisionaljurnalistravel.com. Perdagangan ini tak hanya merusak populasi primata, tapi juga berisiko menularkan penyakit zoonosis (seperti herpes B, TBC) antara manusia dan primata. Ironisnya, banyak bayi primata yang diselamatkan dari pasar gelap menunjukkan modul yang sama: bayi ini biasanya datang dari hutan setelah induknya mati diburu
    Di sisi internasional, perlakuan terhadap MEP/beruk berbeda. Kedua spesies ini tercantum dalam CITES Appendix II, berarti ekspor harus dengan izin ketat. Bahkan Malaysia menyebut M. fascicularis dan M. nemestrina sebagai satwa terlindungi di bawah Wildlife Conservation Act 2010, sehingga eksploitasi tanpa izin di sana adalah tindak pidana berat. Begitu juga beberapa negara maju melarang perdagangan dan pemeliharaan primata sebagai hewan peliharaan. Di Indonesia, aktivis global sudah menyerukan agar AS dan UE menghentikan impor monyet dari alam liar kita.
    Bayangkan Indonesia menempatkan primata bukan hanya sebagai objek perlindungan, tapi sebagai mitra ekonomi-ekologis yang memberi nilai nyata kepada masyarakat lokal tanpa diperjualbelikan. Strategi visioner ini menggabungkan lima gagasan yang belum banyak diangkat secara terintegrasi:
    1. Sertifikat “Kawasan Penyangga Primata” berbayar: Desa yang memelihara koridor habitat mendapatkan insentif fiskal (PES) dan akses ke dana mikro¬ekonomi hijau. Bukan sekadar subsidi melainkan kontrak jangka panjang berdasarkan hasil pemantauan populasi dan layanan ekosistem (penyerbukan, pengendalian hama).
    2. Barcode genetik dan blockchain untuk setiap individu hasil rehabilitasi: Semua monyet yang diselamatkan diberi tanda genetik (profil DNA singkat) dan registri blockchain publik untuk mencegah pencucian/penjualan kembali; siapa pun yang memilikinya dapat dilacak secara hukum.
    3. Moratorium ekspor bertahap terkait status IUCN otomatis: Aturan nasional yang otomatis melarang ekspor komersial ketika IUCN mengangkat status spesies menjadi ‘Terancam’ menutup celah birokrasi yang selama ini terlambat merespons data ilmiah.
    4. Klinik Rehabilitasi & Rewilding berskema sosial-bisnis: Pusat rehabilitasi yang bekerja sama dengan universitas (magang, penelitian) dan unit wisata edukasi dengan keuntungan diputar kembali ke konservasi, memberi insentif ekonomi untuk penyelamatan dibandingkan penjualan.
    5. Pengadilan Khusus Kejahatan Satwa dan Unit Forensik Biologi: Sanksi cepat dan terukur, didukung kemampuan forensik DNA untuk membedakan satwa hasil penangkaran sah dan hasil tangkap liar.
    Monyet-monyet ekor panjang dalam perangkap bambu saat disiapkan untuk penangkapan illegally. Aktivis internasional mendesak perhentian ekspor monyet liar ini karena penderitaan yang ditimbulkan. Pada 2021, pemerintah sempat mengizinkan lagi penangkapan dan ekspor MEP dari alam liar untuk riset biomedis, meski IUCN telah menaikkan statusnya menjadi “genting”. Jelas, penegakan hukum perlu ditingkatkan; perdagangan primata bukan kriminal biasa melainkan extraordinary crime atas kelestarian hayati.
    Siapa harus bertindak? Pemerintah pusat (KLH) perlu segara memasukkan MEP dan beruk sebagai satwa dilindungi agar undang-undang dapat berlaku penuh. DPR juga dapat mendorong revisi UU KSDAE untuk menguatkan sanksi (seperti usulan menaikkan pidana maksimal) guna menjerat perdagangan non-dilindungi ini. Aparat penegak (BKSDA, Polhut, Bea Cukai, Polri) harus mengintensifkan patroli pasar hewan, perkarantinaan, dan sanksi terhadap pedagang online. Pemerintah daerah dapat membantu dengan peraturan lokal (Perda) terkait atraksi primata dan program sosialisasi anti-pemeliharaan liar. Selanjutnya, masyarakat dan media harus mengurangi permintaan; kampanye edukasi “satwa bukan komoditas” perlu diperkuat. Sektor penelitian pun berperan: melakukan survei populasi primata ini di alam liar dan program rehabilitasi (bersama lembaga konservasi) untuk memulangkan mereka ke habitat.
    Krisis monyet ekor panjang dan beruk adalah masalah seluruh pemangku kepentingan. Tanpa respons hukum dan kebijakan terpadu, kedua primata penting penyerbukan dan ekosistem hutan ini bisa terperangkap ancaman kepunahan. Kini giliran pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat bekerja sama mengakhiri rantai perdagangan gelapagar MEP dan beruk tidak lagi menjadi korban kebijakan yang “menutup mata”.Primata ini dapat menjadi simbol kampanye konservasi yang efektif untuk meningkatkan kesadaran public mengubah persepsi dari “hama” menjadi bagian warisan alam yang harus dilindungi. Menjaga MEP dan beruk berarti melindungi fungsi ekosistem, membuka kesempatan ekonomi berkelanjutan, dan mewariskan hutan sehat untuk generasi berikutnya alasan kuat agar kebijakan dan penegakan hukum segera bersinergi.
    Referensi 
    IUCN SSC Primate Specialist Group. 2022. Macaca nemestrina. The IUCN Red List of Threatened Species 2022: e.T12555A223433999. https://www.iucnredlist.org/species/12555/223433999 
    IUCN SSC Primate Specialist Group. 2022. Macaca fascicularis. The IUCN Red List of Threatened Species 2022. https://www.iucnredlist.org/species/22168/221668305 
    CITES Secretariat. 2023. Non-Detriment Findings (NDF) for Long-tailed Macaque (Macaca fascicularis), Republic of Indonesia. (NDF report).  
    Indonesia. 1990. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Lembaran Negara Republik Indonesia.  
    Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.  
    Garda Animalia. 2024. “Indonesia Ekspor 1.402 Monyet Liar ke AS pada 2023.” March 10, 2024. https://gardaanimalia.com/indonesia-ekspor-1-402-monyet-liar-ke-as-pada-2023/  
    Betahita.id. 2024. “Darurat Status Monyet Ekor Panjang dan Beruk.” February 1, 2024. https://betahita.id/news/detail/9834/darurat-status-monyet-ekor-panjang-dan-beruk-.html  
    Betahita.id. 2024. “Amerika Serikat Impor 1.402 Monyet Liar dari Indonesia Tahun Lalu.” March 1, 2024. https://betahita.id/news/detail/9967/amerika-serikat-impor-1-402-monyet-liar-dari-indonesia-tahun-lalu.html 
    Animals Don’t Speak Human. 2024. “Siaran Pers — Hari Primata Indonesia 2024.” May 2024. https://animalsdontspeakhuman.org/wp-content/uploads/2024/05/Siaran-Pers-Hari-Primata-Indonesia-2024.pdf  
    Lady Freethinker & Action for Primates. 2024. “LFT and AfP Call to End Cruel Imports Of Indonesian Long-tailed Macaques.” April 9, 2024. https://ladyfreethinker.org/lft-afp-call-to-end-imports-macaques-indonesia-united-states/ 
    Mongabay. 2022. “Endangered Species Listing of Long-tailed Macaques.” August 17, 2022. https://news.mongabay.com/2022/08/endangered-species-listing-of-long-tailed-macaques-shocking-painful-predictable-commentary/  
    NusaBali. 2021. “BKSDA: Perdagangan Anakan Kera Ekor Panjang Tidak Bisa Dijerat UU KSDAE.” September 28, 2021. https://www.nusabali.com/berita/103274/bksda-perdagangan-anakan-kera-ekor-panjang-tidak-bisa-dijerat-uu-ksdae  
    Tempo / Antara (coverage). 2024. “KLHK Ungkap Alasan Monyet Ekor Panjang Belum Masuk Satwa Dilindungi.” January 30, 2024. https://www.antaranews.com/berita/3939012/klhk-ungkap-alasan-monyet-ekor-panjang-belum-masuk-satwa-dilindungi  
    Macaque Coalition. 2022. Laporan Monyet 2022. https://www.macaquecoalition.com/laporan-monyet-2022 
    (Opsional — sumber hukum/prosedur internasional) CITES. n.d. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) Appendices. https://cites.org/eng/app/appendices.php.(Darwin).
    Komentar

    Tampilkan

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Terkini

    NamaLabel

    +